Uncategorized

prabu siliwangi ternyata muslim

Posted on April 15, 2012. Filed under: konspirasi, legenda, Uncategorized |

Kaula Prabu Siliwangi nyakenkeun ka sadaya jamaah diya sakayan kaula nu Insya Allah ngabalai dinya nyusuk nudihapurankeun ka agama Islam (Saya Prabu Siliwangi yang meyakinkan kesemua anggota jamaah mengenai keadaan saya yang Insya Allah membantu dalam masalah memperjuangkan Agama Islam).

Tulisan menggunakan bahasa sandi Pajajaran itu tergores pada lembaran warna putih, kulit harimau. Naskah kuno itu tersimpan rapih dalam Museum Prabu Siliwangi di kota Sukabumi. Konon, tulisan itu ditulis langsung oleh Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi.

Tidak seperti bangunan Museum pada umumnya, Museum Prabu Siliwangi yang bertempat di kota Sukabumi itu dibangun dalam lingkungan pesantren Dzikir al Fath, dengan arsitektur sunda berupa rumah panggung dari bambu.

Lebih dari lima puluh koleksi tersimpan dalam Museum. Di antaranya berupa senjata jenis Kujang (khas Jawa Barat) dan Keris, piring-piring keramik Cina, naskah kuno, serta puluhan batu berbagai jenis dan ukuran. “Batu-batu berbentuk hewan laut itu berusia ribuan tahun,” kata Muhamad Fajar Laksana, pengelola museum.

Menurut pria yang juga pemimpin Pondok Pesantren Dzikr Al Fath, batu-batu tersebut ditemukan terpisah di beberapa sungai di Jawa Barat, di anrtaranya Majalengka. Uniknya, beberapa batu berbentuk hewan-hewan laut itu terdapat goresan tulisan kuno yang mirip dengan huruf India. “Saya juga belum bisa membaca, itu usianya ribuan tahun. Sementara ini saya baru bisa membaca huruf sandi Pajajaran,” kata Fajar, sambil menunjukkan goresan tulisan di batu-batu purba.

Sementara di etalase kaca terpisah, terdapat dua buah batu kali biasa seperti bulatan mangkuk. Berbeda dengan batu sebelumnya, tulisan pada dua batu itu merupakan huruf sandi Kerajaan Pajajaran yang sudah dikuasai Fajar Laksana.

Nu Ngagaduhan Sang Raja Sajagad Kaayaan Sagala Nungabogaan Karajaan-Karajaan
(Seorang Raja yang memiliki semua kerajaan di wilayah kerajaan-kerajaan).

Pamangku Nagara Caraka Sakala Dewastu Kancana Jaya Purnama
(Yang memiliki negara segala cerita leluhur kerajaan Jaya Purnama).

Batu rupanya bukan media satu-satunya yang digunakan kerajaan Pajajaran untuk menulis. Di nusantara kuno, khususnya di Jawa sangat umum menggunakan daun lontar untuk tulis menulis. Di Museum Prabu Siliwangi juga terdapat selembar daun lontar berukuran tidak lebih dari 10 cm yang ditulis perintah perang menggunakan getah pohon.

Dewastu Sakala Sungkar Parit Ngajungjung Parit Sakakala Dewastu (Ke semua pemimpin ditujukan surat ini untuk semua prajurit)

Selain batu-batu purba yang ditemukan di tempat terpisah, beberapa batu bernaskah huruf sunda Pajajaran serta kitab Suwasit merupakan warisan keluarga Fajar Laksana secara turun temurun. Laki-laki berjanggut ini mengaku sebagai keturunan ke tujuh dari anak Prabu Siliwangi yang bernama Nyai Rarasantang yang merupakan ibunda dari Syaikh Syarif Hidayatullah (Wali Songo yang bergelar Sunan Gunung Jati). Dengan demikian ia sekaligus keturunan kelima dari Sunan Gunung Jati.

Sebagai seorang akademisi yang berpendidikan modern, Fajar Laksana kemudian membuka pusaka-pusaka kerajaan Pajajaran itu untuk kepentingan penelitian akademis. Untuk itulah ia kemudian membangun Museum Prabu Siliwangi yang ditandatangani langsung oleh Wali Kota Sukabumi Mokhamad Muslikh Abdussyukur.

Uniknya, pria yang meraih gelar Doktor dalam bidang Ekonomi Manajemen itu mengaku bahwa beberapa benda bersejarah itu dilakukan melalui ritual-ritual tertentu. Di antaranya adalah keramik-keramik Cina yang mirip dengan keramik di sekitar Keraton Kasepuhan Cirebon. Konon, keramik-keramik itu dibawa oleh Puteri Ong Tien, salah satu isteri Sunan Gunung Jati yang berasal dari Cina.

Benda penting lainnya yang diperoleh dari ritual pengelola Museum adalah surat Prabu Siliwangi di atas kulit harimau putih yang isinya merupakan penegasan Prabu Siliwangi yang telah Muslim dan memindahkan kerajaannya ke alam gaib. Kulit harimau itu ditemukan di daerah Desa Pajajar Kecamatan Rajagaluh Kabupaten Majalengka Jawa Barat. Desa itu dipercaya menjadi tempat mokhsa (menghilang) Prabu Sililwangi.

Keunikan lain, dalam sebuah ritual di Desa Pajajar Majelengka, Fajar membawa seorang fotografer untuk memotret danau. Ternyata, menurut pengakuan Fajar, setelah foto itu tercetak muncul gambar Gerbang candi khas Jawa di depan danau. Konon, Gerbang itu adalah Gerbang utama kerajaan Pajajaran yang berada di alam gaib, sedangkan danau yang ada merupakan lapangan untuk tempat berkumpulnya prajurit.

Dari lelaku yang dilakukannya, Fajar pun kemudian merekonstruksi denah Kerajaan Pajajaran yang divisualisasikan dengan seni desain grafis komputer. Hasilnya, kita bisa melihat bagaimana denah dan arsitektur Kerajaan Pajajaran. Boleh percaya, boleh tidak.

MAKOM-MAKOM KERAMAT SEPUTAR PAJAJAR

cungkup makom prabu siliwangi

Pesanggrahan Prabu Siliwangi Pajajar Rajagluh, dikelilingi makom-makom tua yang dikeramatkan penduduk sehubungan dengan sejarah Desa Pajajar. Sesuai denga Uga/wangsit Prabu Siliwangi, sebelum Prabu Siliwangi moksa, Sang Prabu memberikan empat pilihan kepada rakyatnya. pilihan yang pertama ikut moksa bersamanya, kedua mengabdi kepada negara yang sedang berjaya yang pada waktu itu adalah cirebon, sumedang larang dan banten lama. Pilihan ketiga adalah tetap di tempat semula walau keadaan akan berubah tak seperti sebelumnya, dan yang terakhir adlah yang tidak memilih ketiga-tiganya, golongan ini adalah golongan pengembara yang akan berpindah pindah tempat.

Mereka yang memilih untuk tetap menetap di tempat semula inilah yang akhirnya membuka perkampungan baru dan membuka sawah ladang sekaligus jadi pemelihara situs peninggalan Prabu siliwangi yang ditinggalkan moksa. Seiring waktu karena jasa-jasanya maka kuburannya pun dikeramatkan warga sebegai bentuk penghormatan.

Berikit adalah makom-makom keramat seputar Pesanggrahan Prabu Siliwangi Pajajar.

MAKOM MBAH BUYUT ARJUNA
Makom ini sebenarnya adalah petilasan bertapanya Arjuna, yang kalau dirunut dari sejarah babad pajajaran persi Cirebon, Prabu Siliwangi adalah ketururan dari Pandawa jadi tak heran jika Prabu Siliwangi mendirikan Pesanggrahan dekat dengan leluhurnya.

petilasan arjuna indrakila

MAKOM MBAH GORA DAN MBAH NAMBANG KEMUNING
Mbah Gora adalah seorang tokoh di Pajajar yang merupakan salah satu penyebar agama islam yang sejaman dengan Mbah Kuwu Sangkan Cirebon Girang. Sahabat seperjuangan beliau adalah Mbah Buyut Bungsu, Mbah Buyut Tajug dan Mbah Buyut Saca.
Beliau dimakamkan di tengah-tengah pemakaman umum Pajajar, dan diberi cungkup yang bisa dimasuki beberapa orang pejiarah.

Walau di sato komplek yang sama tapi Makom Mbah Nambang Kemuning tidak memakai cungkup seperti makom mbah Gora. Bentuk kuburnya seperti kubur pada umumnya yang membedakan hanya bentuknya yang lebih besar dari makam penduduk yang lainya.

MAKOM MBAH BUYUT BUNGSU
Letaknya tak begitu jauh dari makomnya Mbah Gora, tepatnya sebelah utara dari makom mbah Gora. Beliau sangat berperan dalam penentuan batas wilayah desa Pajajar. Cungkup makom yang sederhana di tengah-tengah rimbunan pohon yang sudah berumur puluhan tahun, memberikan kesan mistik yang kental.

MAKOM MBAH BUYUT TAJUG
Mbah Buyut Tajug adalah kuwu ke dua di pajajar, sementara yang pertamanya adalah mbah buyut Saca. Letak makom mbah Buyut Tajug sedikit terpencil karena berada di ujung desa dan berada di tengah-tengah persawaan

MAKOM MBAH BUYUT SACA
Beliau adalah kuwu pertama di Pajajar. letak makomnya antara makom Mbah Buyut Bungsu dan Mbah Buyut Tajug. Berada diatas bukit kecil yang dimanpaatkan penduduk untuk lahan pembibitan. Bangunan cukup  sederhana untuk tokoh yang punya jasabesar bagi desa Pajajar.

MAKOM MBAH BUYUT MASDAR
Mbah Masdar diyakini berasal daari kerajaan kuningan yang datang untuk mengajak tanding pada jago pajajar. Namun seiring kebijakan orang2 pajajar justru Mbah Masdar tertarik untuk menetap di Pajajar sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di hutan plalangon. Kesan mistisnya cukup kuat walau makamnya tidak bercungkup. Tunpukan batubatu yang sudah berusia tua membentuk kuburan yang tertutup rindangnya pepohonan yang sudah berusia puluhan bahkan ratusan tahun.
Letaknya sejajar antara bukit tempat mbah Bungsu dimakamkan, yang hanya berjarak ratusan meter.

MAKOM MBAH BUYUT POKEK
Mbah buyut Pokek adalah sabutan untuk Mbah Buyut Haji Wanasari. Baliau adalah seorang pendatang dari jajirah arab yang ikut perjuangan Mbah Gora menyebarkan agama islam di daerah Pajajar. Bangunan cungkup makomnya sudah di buat permanen yang cukup memadai. Letaknya diatas sebuah bukit kecil dengan pohonan yang cukup rindang dan lebat. Walau tak jauh dari rumah penduduk tapi kesan mistisnya cukup kental untuk mereka yang suka bertirakat.

Selain makom-makom diatas ada juga makom yang lain yang dikeramatkan dan sering di jiarahi yaitu makom mbah Angga Laksana dan Mbah Sulaeman. Keduanya sebenarya bukan termasuk makam tua yang sejaman dengan Makam diatas. Mbah Sulaeman dan Mbah Anggalaksana adalah tokoh Masarakat dijaman kolonial yang ikut berjuang menentang Belanda jadi tidak sejaman dengan makom-makom diatas.

Read Full Post | Make a Comment ( 61 so far )

Makam Ki Ageng Selo

Posted on Desember 25, 2011. Filed under: ARTIKEL, legenda, makam, Uncategorized |

masjid ki ageng selo

makam ki ageng selo

Makam Ki Ageng Selo teletak di Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo 10 km sebelah timur kota Purwodadi, Kabupaten Grobogan sebagai obyek wisata spiritual, makam Ki Ageng Selo ini sangat ramai dikunjungi oleh para peziarah pada malam jum’at, dengan tujuan untuk mencari berkah agar permohonannya dikabulkan oleh Tuhan YME. Ki Ageng Selo sendiri menurut cerita yang berkembang di masyarakat sekitar khususnya atau masyarakat jawa umumnya, diakui memiliki kesaktian yang sangat luar biasa sampai-sampai dengan kesaktiannya ia dapat menangkap petir.
Ki Ageng Selo dipercaya oleh masyarakat jawa sebagai cikal bakal yang menurunkan raja-raja di tanah Jawa. Bahkan pemujaan kepada makam Ki Ageng Selo sampai sekarang masih ditradisikan oleh raja-raja Surakarta dan Yogyakarta. Sebelum Gerebeg Mulud, utusan dari Surakarta datang ke makam Ki Ageng Selo untuk mengambil api abadi yang selalu menyala di dalam makam tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh raja-raja Yogyakarta. Api dari sela dianggap sebagai api keramat.
Legenda dari Makam Ki Ageng Selo :

makam ki ageng selo

Cerita Ki Ageng Sela merupakan cerita legendaris. Tokoh ini dianggap sebagai penurun raja-raja Mataram, Surakarta dan Yogyakarta sampai sekarang. Ki Ageng Sela atau Kyai Ageng Ngabdurahman Sela, dimana sekarang makamnya terdapat di Desa Sela, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan, adalah tokoh legendaris yang cukup dikenal oleh masyarakat Daerah Grobogan, namun belum banyak diketahui tentang sejarahnya yang sebenarnya. Dalam cerita tersebut dia lebih dikenal sebagai tokoh sakti yang mampu menangkap halilintar (bledheg).
Menurut cerita dalam babad tanah Jawi (Meinama, 1905; Al – thoff, 1941), Ki Ageng Sela adalah keturunan Majapahit. Raja Majapahit : Prabu Brawijaya terakhir beristri putri Wandan kuning. Dari putri ini lahir seorang anak laki-laki yang dinamakan Bondan Kejawan. Karena menurut ramalan ahli nujum anak ini akan membunuh ayahnya, maka oleh raja, Bondan Kejawan dititipkan kepada juru sabin raja : Ki Buyut Masharar setelah dewasa oleh raja diberikan kepada Ki Ageng Tarub untuk berguru agama Islam dan ilmu kesaktian.

tempat yang di percaya untuk menyimpan petir

Oleh Ki Ageng Tarub, namanya diubah menjadi Lembu Peteng. Dia dikawinkan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Ki Ageng Tarub atau Kidang Telangkas tidak lama meninggal dunia, dan Lembu Peteng menggantikan kedudukan mertuanya, dengan nama Ki Ageng Tarub II. Dari perkawinan antara Lembu Peteng dengan Nawangsih melahirkan anak Ki Getas Pendowo dan seorang putri yang kawin dengan Ki Ageng Ngerang. Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh orang yaitu : Ki Ageng Sela, Nyai Ageng Pakis, Nyai Ageng Purna, Nyai Ageng Kare, Nyai Ageng Wanglu, Nyai Ageng Bokong, Nyai Ageng Adibaya.
Kesukaan Ki Ageng Sela adalah bertapa dihutan, gua, dan gunung sambil bertani menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil sawahnya dibagi – bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup berkecukupan. Bahkan akhirnya Ki Ageng Sela mendirikan perguruan Islam. Muridnya banyak, datang dari berbagai penjuru daerah. Salah satu muridnya adalah Mas Karebet calon Sultan Pajang Hadiwijaya. Dalam tapanya itu Ki Ageng selalu memohon kepada Tuhan agar dia dapat menurunkan raja-raja besar yang menguasai seluruh Jawa.
Kala semanten Ki Ageng sampun pitung dinten pitung dalu wonten gubug pagagan saler wetaning Tarub, ing wana Renceh. Ing wanci dalu Ki Ageng sare wonten ing ngriku, Ki Jaka Tingkir (Mas Karebet) tilem wonten ing dagan. Ki Ageng Sela dhateng wana nyangking kudhi, badhe babad. Kathinggal salebeting supeno Ki Jaka Tingkir sampun wonten ing Wana, Sastra sakhatahing kekajengan sampun sami rebah, kaseredan dhateng Ki Jaka Tingkir. (Altholif : 35 – 36).

pohon gandrik yang di percaya untuk mengikat petir oleh ki ageng selo

pohon gandrik

Impian tersebut mengandung makna bahwa usaha Ki Ageng Sela untuk dapat menurunkan raja-raja besar sudah di dahului oleh Jaka Tingkir atau Mas Karebet, Sultan Pajang pertama. Ki Ageng kecewa, namun akhirnya hatinya berserah kepada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Hanya kemudian kepada Jaka tingkir, Ki Ageng sela berkata : Nanging thole, ing buri turunku kena nyambungi ing wahyumu (Dirdjosubroto, 131; Altholif: 36 ).
Suatu ketika Ki Ageng Sela ingin melamar menjadi prajurit Tamtama di Demak. Syaratnya dia harus mau diuji dahulu dengan diadu dengan banteng liar. Ki Ageng Sela dapat membunuh banteng tersebut, tetapi dia takut kena percikan darahnya. Akibatnya lamarannya ditolak, sebab seorang prajurit tidak boleh takut melihat darah. Karena sakit hati maka Ki Ageng mengamuk, tetapi kalah dan kembali ke desanya, Sela
Ki Ageng Sela menangkap “ bledheg “ cerita tutur dalam babad :

BOLODUPAK

Ketika Sultan Demak : Trenggana masih hidup pada suatu hari Ki Ageng Sela pergi ke sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan. Tidak lama memang benar-benar hujan lebat turun. Halilintar menyambar. Tetapi Ki Ageng Sela tetap enak-enak menyangkul, baru sebentar dia mencangkul, datanglah “bledheg“ itu menyambar Ki Ageng, berwujud seorang kakek-kakek. Kakek itu cepat-cepat ditangkapnya, kemudian diikat dipohon gandri, dan dia meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah cukup, dia pulang dan “ bledheg “ itu dibawa pulang dan dihaturkan kepada Sultan demak.
Oleh Sultan “bledheg“ itu ditaruh didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun-alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat ujud “bledheg“ itu. Ketika itu datanglah seorang nenek-nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek “ bledheg“ dan diminumnya. Setelah minum terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek “bledheg” tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “bledheg” hancur berantakan.
Kemudian suatu ketika Ki Ageng nanggap wayang kulit dengan dhalang Ki Bicak. Istri Ki Bicak sangat cantik. Ki Ageng jatuh cinta pada Nyai Bicak. Maka untuk dapat memperistri Nyai Bicak, Kyai Bicak dibunuhnya. Wayang Bende dan Nyai Bicak diambilnya, “Bende“ tersebut kemudian diberi nama Kyai Bicak, yang kemudian menjadi pusaka Kerajaan Mataram. Bila “Bende“ tersebut dipukul dan suaranya menggema, bertanda perangnya akan menang tetapi kalau dipukul tidak berbunyi pertanda perangnya akan kalah.
Peristiwa lain lagi : Pada suatu hari Ki Ageng Sela sedang menggendong anaknya di tengah tanaman waluh dihalaman rumahnya. Datanglah orang mengamuk kepadanya. Orang itu dapat dibunuhnya, tetapi dia “kesrimpet“ batang waluh dan jatuh telentang, sehingga kainnya lepas dan dia menjadi telanjang. Oleh peristiwa tersebut maka Ki Ageng Sela menjatuhkan umpatan, bahwa anak turunnya dilarang menanam waluh di halaman rumah memakai kain cinde .
… Saha lajeng dhawahaken prapasa, benjeng ing saturun – turunipun sampun nganthos wonten ingkang nyamping cindhe serta nanem waluh serta dhahar wohipun. ( Dirdjosubroto : 1928 : 152 – 153 ).
Dalam hidup berkeluarga Ki Ageng Sela mempunyai putra tujuh orang yaitu : Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Saba (Wanasaba), Nyai Ageng Basri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen, Nyai Ageng Pakis Dadu, dan bungsunya putra laki – laki bernama Kyai Ageng Enis. Kyai Ageng Enis berputra Kyai Ageng Pamanahan yang kawin dengan putri sulung Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau Sutawijaya, pendiri Kerajaan Mataram. Adik Nyai Ageng Pamanahan bernama Ki Juru Martani. Ki Ageng Enis juga mengambil anak angkat bernama Ki Panjawi. Mereka bertiga dipersaudarakan dan bersama – sama berguru kepada Sunan Kalijaga bersama dengan Sultan Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Atas kehendak Sultan Pajang, Ki Ageng Enis diminta bertempat tinggal didusun lawiyan, maka kemudian terkenal dengan sebutan Ki Ageng Lawiyan. Ketika dia meninggal juga dimakamkan di desa Lawiyan. (M. Atmodarminto, 1955: 1222).
Dari cerita diatas bahwa Ki Ageng Sela adalah nenek moyang raja-raja Mataram Surakarta dan Yogyakarta. Bahkan pemujaan kepada makam Ki Ageng Sela sampai sekarang masih ditradisikan oleh raja-raja Surakarta dan Yogyakarta tersebut. Sebelum Garabeo Mulud, utusan dari Surakarta datang ke makam Ki Ageng Sela untuk mengambil api abadi yang selalu menyala didalam makam tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh raja-raja Yogyakarta Api dari Sela dianggap sebagai keramat.

pengemis makam

Bahkan dikatakan bahwa dahulu pengambilan api dilakukan dengan memakai arak-arakan, agar setiap pangeran juga dapat mengambil api itu dan dinyalakan ditempat pemujaan di rumah masing-masing. Menurut Shrieke (II : 53), api sela itu sesungguhnya mencerminkan “asas kekuasaan bersinar”. Bahkan data-data dari sumber babad mengatakan bahkan kekuasaan sinar itu merupakan lambang kekuasaan raja-raja didunia. Bayi Ken Arok bersinar, pusat Ken Dedes bersinar; perpindahan kekuasaan dari Majapahit ke Demak diwujudkan karena adanya perpindahan sinar; adanya wahyu kraton juga diwujudkan dalam bentuk sinar cemerlang.
Dari pandangan tersebut, api sela mungkin untuk bukti penguat bahwa di desa Sela terdapat pusat Kerajaan Medang Kamulan yang tetap misterius itu. Di Daerah itu Reffles masih menemukan sisa-sisa bekas kraton tua (Reffles, 1817 : 5). Peninggalan itu terdapat di daerah distrik Wirasaba yang berupa bangunan Sitihinggil. Peninggalan lain terdapat di daerah Purwodadi.
Sebutan “ Sela “ mungkin berkaitan dengan adanya “ bukit berapi yang berlumpur, sumber-sumber garam dan api abadi yang keluar dari dalam bumi yang banyak terdapat di daerah Grobogan tersebut.
Ketika daerah kerajaan dalam keadaan perang Diponegoro, Sunan dan Sultan mengadakan perjanjian tanggal 27 September 1830 yang menetapkan bahwa makam-makam keramat di desa Sela daerah Sukawati, akan tetap menjadi milik kedua raja itu. Untuk pemeliharaan makam tersebut akan ditunjuk dua belas jung tanah kepada Sultan Yogyakarta di sekitar makam tersebut untuk pemeliharaannya. (Graaf, 3,1985 : II). Daerah enclave sela dihapuskan pada 14 Januari 1902. Tetapi makam-makam berikut masjid dan rumah juru kunci yang dipelihara atas biaya rata-rata tidak termasuk pembelian oleh Pemerintah

Read Full Post | Make a Comment ( 2 so far )

« Entri Sebelumnya
  • online

  • bolo dupak

    • 1.183.059 hits
  • Kategori

  • Arsip

  • Meta

  • masukkan eamail anda

    Bergabung dengan 105 pelanggan lain

Liked it here?
Why not try sites on the blogroll...